Hari ini menjadi hari hitam bagi sejarah kepelatihan tim nasional sepakbola Indonesia ketika PSSI secara resmi mengumumkan pemecatan Patrick Kluivert setelah masa jabatan yang singkat dan penuh tantangan. Pengumuman tersebut disampaikan melalui surat resmi yang dikirim ke agen Kluivert di Amsterdam serta konferensi virtual yang diikuti oleh perwakilan klub-klub Liga 1 di seluruh negeri. Kluivert yang diboyong dari Eropa dengan harapan tinggi untuk merevitalisasi permainan Garuda kini harus pulang dengan tangan hampa karena rekam jejak buruk yang mencakup hanya satu kemenangan dalam lima pertandingan terakhir termasuk hasil imbang tanpa gol melawan Laos yang dianggap memalukan oleh para kritikus. Keputusan ini diambil setelah evaluasi mendalam oleh komite teknis PSSI yang menyimpulkan bahwa gaya kepelatihan Kluivert tidak selaras dengan potensi pemain Indonesia yang lebih mengutamakan improvisasi daripada skema kaku.
Kluivert memulai petualangannya di Indonesia dengan semangat tinggi dengan mengadakan kamp pelatihan intensif di Bali yang melibatkan ratusan pemain muda dari berbagai pulau. Ia memperkenalkan konsep “total football” ala Belanda yang menekankan pergerakan tanpa bola dan pressing tinggi namun sayangnya konsep tersebut gagal diterapkan karena keterbatasan fisik pemain lokal yang belum terbiasa dengan intensitas latihan Eropa. Selama masa jabatannya ia berhasil membawa tim U-19 lolos ke perempat final Piala Asia U-19 dengan performa gemilang yang sempat membuat penggemar optimis namun kegagalan di level senior menjadi batu sandungan utama. Konflik internal juga turut mewarnai perjalanannya seperti perselisihan dengan manajer tim nasional mengenai rotasi pemain yang dianggap tidak adil terhadap bintang-bintang Liga 1 seperti striker andalan dari Borneo FC yang jarang mendapat menit bermain. Para analis sepakbola nasional menyoroti bahwa kurangnya dukungan logistik dari federasi seperti akses terbatas ke pusat kebugaran internasional juga memperburuk situasi sehingga Kluivert merasa terkekang dalam menjalankan tugasnya.
Reaksi dari berbagai pihak terhadap pemecatan ini menunjukkan betapa sensitifnya isu sepakbola di Indonesia di mana suporter dari Persija Jakarta menggelar demonstrasi kecil dengan nyanyian solidaritas untuk Kluivert sementara kelompok di Sumatra Utara justru merayakannya sebagai kemenangan atas intervensi asing. Seorang pakar manajemen olahraga dari universitas ternama di Yogyakarta menyatakan bahwa pemecatan ini adalah konsekuensi logis dari ketidakcocokan budaya di mana pelatih Eropa sering kali gagal memahami nilai gotong royong dalam tim Asia yang lebih menekankan harmoni kelompok daripada individualisme. Media olahraga nasional juga ramai membahas dampak finansialnya karena pemutusan kontrak prematur ini membebani kas PSSI dengan denda sekitar satu miliar rupiah yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan stadion mini di daerah terpencil. Namun di balik kekecewaan tersebut muncul peluang baru bagi PSSI untuk merekrut pelatih dengan pengalaman di kompetisi ASEAN seperti eks pelatih Thailand yang sukses membangun tim kompetitif dari nol.